REMBULAN

Ilalang terdiam saat Rere sahabatnya yang bergegas memeluk dan menangis begitu ia membuka kamar hotelnya. Beberapa saat lamanya ia membiarkan Rere terus terisak hebat dalam pelukannya, tak terasa beberapa bulir air mata pun menetes dari kedua matanya. Ilalang sungguh-sungguh mencintai Rere, sahabat sejak lebih dari dua dekade. Baginya, Rere adalah saudara kandungnya sendiri.

“Re, aku biarkan semalam dirimu pergi bersama Bayu, meninggalkanku sendiri di kamar ini dan tak bisa tidur sampai pagi, bukan untuk mendapatkan dirimu menangis sesedih ini. Harusnya kamu bahagia, bukankah kalian akhirnya bisa melepas rindu?”

Di tengah-tengah isak tangisnya yang tersisa, Rere berucap dengan membuang pandangannya ke luar jendela kamar hotel, di kota antah berantah tempat Bayu tinggal.

“Cinta kami hanya dalam hati saja, cinta kami semu, La, kamu tau, aku merasa bersalah kepada Runi, Bayu adalah miliknya, cinta nyata Bayu adalah Runi, aku hanya pengganggu”

“Rembulan Dini Hari! Beraninya dirimu menyebut diri sendiri pengganggu! Hati ini bukan program komputer, Re, yang bisa kita atur sesuai keinginan kita, cinta kalian nyata, dan kamu bukan pengganggu, bukankah Bayu tak pernah mengabaikan Runi demi dirimu? Re, syukuri saja ada seorang Bayu Semilir Senja yang begitu menyayangimu sepenuh jiwa raga setiap detik hidupnya, tak banyak orang bisa mendapatkan kesempatan itu, tidak juga aku, Re”

Ilalang dan Rembulan kembali berpelukan, Tuhan memberikan mereka hadiah terbaik, persahabatan yang tak lekang waktu.

 

Ilalang menggenggam erat tangan sahabatnya saat pesawat take off kembali menuju kota kembang tempat mereka tinggal, tampak tetesan air mata di pipi Rembulan.

“You’ll be just fine, Re, Bayu will always love you as much as you love him. Thank God for that, come on….please smile for me” ucap Ilalang sambil memeluk erat sahabatnya, “La, udahan ah, jangan peluk peluk terus, sepertinya cowok sebelahmu itu mulai berpikir kita lesbi” bisik Rembulan.

Lalu, dalam beberapa detik, tawa mereka berdua pecah seiring kumpulan mega putih tampak di jendela.

 

“La, thanks a lot for accompanying me to the city you call antah berantah”

“Hahahaha Rere ku sayang, apa sih yang gak buat kamu”

“Kamu mau aku antar pulang, La? Aku kan parkir mobilku di bandara, atau….pacarmu itu yang menjemput tuan putri Ilalang Kemilau Fajar? Eh sebentar, dia itu supir atau pacar atau suami atau ATM berjalanmu ya? Hahahah kalian ini pasangan aneh, menikah aja kenapa sih daripada gak jelas begitu”

“Hadeuh…yang udah bisa ketawa, lupa pagi tadi masih sesenggukan di pelukanku, iyaaaa, Pryo supir pribadiku itu beserta segenap status yang kamu sebut tadi yang mau jemput. Menikah? Tidak lah yaaaa….bisa gila aku kalau harus serumah sama dia”

 

Rembulan menyalakan mesin mobilnya, sejenak menarik nafas dalam mengingat perjalanannya bertemu Bayu, kekasihnya sejak lebih dari 5 tahun ini. Ia menyadari cintanya yang tak pernah usai pada Bayu sejak pertemanan mereka semasa SMA dulu, walaupun akhirnya Bayu diminta orangtuanya menikah dengan Seruni yang masih kerabatnya dan Rembulan memilih tetap melajang sampai kini. Dilihatnya iPhone nya menyala, terbaca olehnya ada iMessage dari Bayu.

[Sudah sampai Bandung, Rereku sayang?]

[Aku benar benar cinta kamu, Re, sungguh]

[Jangan pernah berhenti mencintaiku ya, Re]

Mata Rembulan membasah membaca satu demi satu ungkapan cinta Bayu, yang entah berapa kali dalam sehari dikirimnya via iMessage. Ia begitu mencintai Bayu, walau tahu Bayu hanya milik Seruni. Rembulan pun mengetik iMessage membalas seluruh ungkapan cinta Bayu padanya, walau matanya berkaca-kaca, sekali sekali tersungging senyumnya membayangkan komentar Ilalang bila ia menunjukkan ungkapan cinta Bayu padanya, satu kata yang pasti diteriakkan Ilalang padanya “lebaiiiiiiiii” dengan sederet huruf  “i”. Ilalang satu satunya orang yang bisa mengubah isak tangisnya menjadi senyum bahkan tawa.

 

[Rereeeeeeee…..somseeeee….iMessage ku tak dibalas…huh]

[Lala bawel, memangnya aku ini Pryo yang harus segera membalas semua pesanmu? Pesan Bayu saja belum tentu segera aku balas…]

[Jiaaaaaaahhh teganya menomor duakan aku dari Bayu pujangga cinta yang seangkatan sama pujangga lama itu kalo diliat dari pesan pesan cintanya]

[Idiiiih kok jadi nyela Bayu….Ilalang Kemilau Fajar, kamu gak pernah nomer dua di hidupku, tapi boleh dong kalo Bayu nomer satu juga hehehe…ada apa kok galau begitu? Pryo pasti penyebabnya]

[I love him, Re, but maybe I don’t love him enough to say yes to his proposal last night]

[Whaaaaaat??? Akhirnya Pryo Notowijoyo melamarmu?? Why didn’t you say yes, dear? Why?]

[Nggak ah, Re, enakan begini, kalo aku lagi cinta aku bisa manja manjaan, kalo aku lagi bête aku bisa tendang jauh jauh hahahahaha…gak perlu ribet ngurus cerai di pengadilan kayak dulu aku sama Danar]

[Aaah..La..kamu punya kesempatan untuk menikah dengan orang yang kamu cintai, sedangkan aku?? Nggak akan pernah ada kesempatan itu untukku dan Bayu]

[Ya ampuuuun Reeeee…kalau Bayu tak menceraikan Runi terlebih dahulu, aku pastikan kesempatan itu takkan pernah ada! Aku gak rela sahabatku tercinta ini dijadikan istri kedua, bakal aku tendang Bayu keluar angkasa, langkahi dulu body seksi ku ini kalo dia punya niatan seperti itu]

[Hahahaha kamu tu emang gilaaaa…apa jadinya kalo Bayu membaca kata-katamu itu]

[Screen grab! Kirim ke Bayu, biar dia pikir-pikir sejuta kali kalo punya niatan kayak gitu, palingan kamu bakalan terima ratusan baris ungkapan cintanya yang layaknya mau saingan sama pujangga lama]

 

[Lalaaaaa…kok tumben sibuuuk]

[Hadir! Sahabatku Rembulan Dini Hari yang cantik jelita bagai purnama di langit nan gelap *do I sound like Bayu?* Hahahahaha]

[Iiiihhh…aku lagi bête sama Bayu]

[Whaaaat? Tumbeeeen…udah lama gak kirim pantun atau sajak yaaa]

[Lalaaa aku serius tauuuuk]

[Ada apa sih?]

[Tadi pagi Bayu iMessage aku, bilang kalo lagi menemani Runi keluar kota dan melarangku kirim iMessage sampai dia yang mulai. Aku kan nggak pernah kirim pesan duluan atau bahkan telfon, aku mengerti posisinya dan kesulitannya. Nggak usahlah dia mengingatkanku, seakan akan aku akan mengganggu “posisi aman” nya]

[Hufthhhhh…emang tuh Bayu kudu sekali kali aku kilik-kilik….pake keris karatan! Bagaimana bisa dia selugu itu kirim pesan seperti itu, nggak tau apa kata-katanya itu nyakitiiiiiiin banget. Biar aku kirim pesan ke dia!]

[Eeehhh jangaaaann…aku cuma mau curhat, bukan minta dibelain, aku tau kamu pasti mengerti sedihnya perasaanku saat ini, La, tapi beneran deh kamu tuh sadis banget, masa keris karatan]

[Iya dong…biar tetanus dulu hahahaha trus kejang-kejang]

[Ckckckckck sadis bener…kasian amat itu Pryo, entah udah pernah dikilik kilik pake rencong karatan kali ya hahahahaha]

 

Silih berganti pundak Rembulan dan Ilalang menjadi tempat bersandar saat satu sama lain saling membutuhkan. Rembulan paham bahwa Ilalang dan Pryo saling cinta, walau nampaknya komitmen dalam pernikahan bukan pilihan untuk sahabatnya yang pernah gagal menikah ini. Ilalang pun paham betapa dalam cinta Rembulan pada Bayu dan sebaliknya, mereka bukan tak berjodoh karena sejoli manapun yang berjodoh sekalipun tak miliki cinta sedalam Rembulan dan Bayu. Bukankah tak ada satupun buku nikah yang isinya memuat betapa besar cinta pasangan tersebut satu sama lain? Untuk Ilalang, cinta Rembulan dan Bayu bukan dalam hati saja, bukan semu atau fatamorgana, cinta mereka sejati yang mungkin saja tak pernah akan disatukan dalam pernikahan. Ilalang tahu cinta sedalam Bayu pada Rembulan hanya ada satu dalam semilyar. Ilalang tahu Rembulan akan selamanya merasakan curahan cinta Bayu.

 

Rembulan Dini Hari dan Bayu Semilir Senja saling mencintai, seluruh galaksi Bima Sakti pun tahu.

Image

(F)O(RE)VER

image[PING]

[La…banguuun dah siang tauuuuk! Vanilaaaaaa…aku kirim lagu nih, buruan di accept, ntar keburu expired]

[hmmmm masih pagi, Saviiiiii, ganjen amat pagi-pagi kirim lagu]

Dengan malas Nila mendonlot lagu kiriman Savannah, sahabatnya sejak lebih dari duapuluh tahun, lalu didengarkan dengan seksama. Savi sering menyampaikan isi hatinya dengan lirik lagu yang entah sepertinya diciptakan khusus untuknya. Tibalah pada satu kalimat lirik lagu ini yang membuat Nila mengerti sahabatnya tak lagi menangisi cinta. 

Selama hampir tiga tahun ini Nila setia menemani perjalanan cinta Savi dengan seorang laki-laki yang juga teman baiknya. Perjalanan cinta yang tak seharusnya, karena Savi telah memiliki seorang suami yang baik hati, Akbar, dan dikaruniai dua orang anak, Hanna Nurul Quddus dan Raafi’ Zaahir Quddus. Nama-nama indah untuk keluarga yang sesungguhnya indah tanpa kehadiran Bennadi sahabat masa kuliahnya dan Savi.

Bennadi, atau biasa dipanggil Ben, juga telah berkeluarga dengan seorang dokter gigi, Meranti, dan telah dikaruniai seorang anak laki-laki, Nikolai. Seharusnya cinta Savi dan Ben telah berakhir lebih dari duapuluh tahun lalu semasa mereka kuliah di Fakultas Tehnik UI. Entah mengapa jalinan cinta kembali bersemi di akhir tahun 2011, saat  acara tahun baru bersama alumni FTUI. Seharusnya Nila segera menyadari bahwa Savi berubah sejak malam tahun baru itu, namun memiliki sahabat seperti Savi, tak ada hal yang tak berubah dan penuh kejutan, membuatnya melewatkan satu hal penting bahwa Savi kembali menjalin cinta dengan Ben. “Kamu gila, Vi, buat apa kamu balikan lagi sama Ben? Akbar mau dikemanain?” teriak Nila saat mendengar Savi menceritakan bahwa ia sedang jatuh cinta kembali dengan Ben. Demi melihat buliran airmata yang jatuh di pipi sahabatnya ini, Nila memeluk Savi, “Maafin aku, Vi, aku tidak seharusnya menghakimimu, okey ceritakanlah, sekarang aku adalah sahabatmu bukan hakim” 

Sebaris kalimat dan disusul oleh ratusan lainnya mengalun dari bibir Savi, tak hanya Savi yang jatuh cinta rupanya Ben pun mencintai Savi. “Jangan kamu pikir aku berhenti menyayangi Akbar, La, tapi hati ini tak bisa diatur kemana perginya” ucap Savi di penghujung ceritanya. Nila tak tahu harus bereaksi apa selain terus memeluk Savi, dalam hatinya ia tahu, akan ada saatnya Savi terluka karena cinta semu ini. Tiga tahun yang penuh ombak, sesekali Savi bercerita penuh bahagia, tak jarang pula Savi sesenggukan menangisi cinta yang tak semestinya ini. Nila hanya sanggup memberikan bahunya untuk bersandar dan kedua lengannya untuk memeluk Savi.

[Vanila]

[I love you, tapi jangan marah ya, aku gak bisa datang reuni angkatan kita di Bali]

Nila membaca bbm Savi, ia langsung bergegas meninggalkan rapat ISO yang membosankan itu. Di luar Nila memutuskan untuk menelpon sahabatnya ini “Saviiii tega bener gak datang! Aku sudah booking tiket untuk kita berdua, Vi! Ini reuni 10 tahun, Vi, spesial! Kamu yang paling heboh  mengatur reuni ini sampai akhirnya sebentar lagi terlaksana, kok malah mangkir!”, Nila tak mendengar sahabatnya ini segera menjawab, namun lamat-lamat terdengar suara Savi bergetar “Maafin aku, La, aku punya dua alasan kuat, Ben bilang dia mau ajak Ranti dan Niko karena mereka belum pernah berlibur ke Bali. Bagaimana aku akan sanggup menghadapinya, La, Ben akan ada di depan mataku, begitu dekat tapi aku tak bisa berbuat apa-apa bahkan tak mungkin memandangnya”. Nila menarik nafas panjang, lagi-lagi Ben, “Savi sayang, reuni itu akan ada puluhan teman-teman lain yang merindukanmu, lagi pula ini akan jadi liburan kita berdua, Vi, aku betul-betul menyiapkan waktu dengan cuti demi pergi berdua denganmu. Lalu apa alasan kedua?”. Beberapa detik terdiam Savi menjawab “Keluargaku sedang ada masalah finansial, La, mana mungkin aku dengan seenaknya pergi reuni sekaligus liburan ke Bali, I am cutting lots of my budget, La, maafin aku ya”. Nila tak sanggup berucap, ia tahu pasti berat untuk Savi memutuskan ini “Kalau butuh bantuanku, bilang ya, Vi, uangku tak banyak, tapi aku akan berusaha membantu bila diperlukan” 

[PING]

[Gimana La, reuninya? Meriah kah?]

Nila segera membalas bbm sahabatnya ini sambil menunggu jadwal flightnya di ruang tunggu bandara Ngurah Rai.

[Saviiiiiiiiiiiiiiii…temen temen pada ngomel sama aku karena gak berhasil membujukmu ikut datang reuni, mereka kangen Savi yang bawel kayak mercon hahahaha]

[Btw, Ben banyak curhat sama aku, Vi, nanti di Jakarta aku ceritain, ini aku bawakan Pia Legong coklat pesananmu]

Demi mendengar nama Ben disebut sahabatnya, Savi terdiam, di kepalanya berkecamuk apa yang kira-kira diceritakan Ben pada Nila.

            Mata Savi memandang wajah ragu-ragu Nila di depannya di pojokan sebuah kedai kopi tempat mereka biasa bertemu.”Kamu yakin ingin tahu apa yang Ben ceritakan sama aku, Vi? Oke, tapi janji kamu gak bilang ke Ben ya, dia pesan untuk gak cerita denganmu, tapi aku butuh cerita dari sisimu juga Vi”. “Ben bilang, kamu kurang bisa mengerti posisinya, maksudku posisinya yang telah memiliki Ranti dan Niko. Dia tak mungkin mengabaikan permintaan Ranti dan Niko untuk ikut ke Bali demi memenuhi keinginanmu, Vi, menurutnya banyak hati yang harus ia jaga”. Nila berhenti sejenak demi melihat mata sahabatnya menerawang jauh ke belakangnya, “Teruskan La”. “Ben bilang, kamulah yang dulu meninggalkannya, bukan dia, dia tak akan pernah meninggalkanmu bila kamu bersabar menghadapinya. Ben menyayangimu, Vi, tapi tak bisa seperti apa yang kamu mau”. Mata Savi masih menerawang jauh, entah ia mendengarkan kata-kata Nila atau tidak, lalu menarik nafas panjang berucap dengan suara bergetar, “Ben menjaga banyak hati, La, hati Ranti dan Niko, namun tak pernah hatiku, apa kamu pikir aku tak menjaga banyak hati? Bagaimana dengan Akbar, Hanna, dan Raafi’? mereka punya hati yang harus kujaga juga kan, La? Aku menjaga semuanya, La, termasuk hati Ben. Tanyakan pada Ben, bagaimana caraku membuatnya kerepotan menjaga hati Ranti dan Niko? Rasanya aku selalu menempatkan diriku dalam posisinya.” Perlu beberapa kali Savi menarik nafas agar tak pecah tangisnya, walau air mata mulai menitik sebulir demi sebulir, “Aku tak pernah meninggalkannya, La, aku dulu putus dengan Ben, demi memenuhi kewajibanku terhadap orangtuaku, belajar dan lulus sarjana. Ayahku hanya pegawai negri sederhana dan ibuku adalah ibu rumah tangga yang membantu ayahku dengan mengkreditkan barang dagangan.””Apakah kamu pernah lihat, La, aku berpacaran dengan orang lain setelah Ben semasa kuliah? Justru Ben yang begitu cepat beralih cintanya pada beberapa teman di kampus kita.””Sampai pada akhirnya, alm ayahku yang saat itu sakit keras, memintaku menikah dengan anak sahabatnya, Akbar. Demi baktiku pada orangtuaku, La, aku menuruti, itupun setelah aku memastikan Ben sedang jatuh cinta dengan Ranti dan berencana menikahinya”. “Tanyakan pada Ben, La, apa pernah setelah kami putus dia mencoba menghubungiku, bahkan sebagai teman biasa? Dia yang meninggalkanku, La, dia yang tak sabar menungguku, aku tak pernah meninggalkannya selama lebih dari duapuluh tahun, bahkan setelah hadirnya Akbar, Hanna, dan Raafi’, aku tak pernah meninggalkan hatinya, tidak dulu, tidak sekarang, atau kapanpun” Nila menggenggam erat tangan Savi, tahu betapa dalam cinta Savi pada Ben, “Akan ada saatnya, Vi, Ben menyadari dia telah mencampakkan orang yang paling mencintainya seumur hidupnya. Aku mau kamu bahagia, Vi, kamu punya tiga orang yang begitu menyayangimu tanpa syarat, tanpa ganjalan kisah masa lalu, dan jangan lupakan aku, Vi, aku juga menyayangimu selamanya” 

            Sejak percakapan di pojokan kedai kopi itu, Savi mulai jarang bercerita tentang Ben pada Nila. Savi kini memahami, cinta Ben masih diselubungi kekecewaan masa lalu. Namun semuanya tak merubah cinta Savi pada Ben, setiap malam Savi selalu mengirim bbm untuk Ben.

[Semoga pekerjaanmu hari ini lancar ya, Ben, jaga kesehatanmu, selamat istirahat, I love you, my Ben]

Sedikit demi sedikit Savi melepaskan ketergantungannya atas keberadaan Ben dalam hidupnya, tapi tak pernah sedikitpun Savi melepaskan cintanya pada Ben. Savi tak peduli apakah Ben juga mencintainya begitu dalam, untuknya, cintanya untuk Ben tak akan pernah berakhir. Seperti lagu kiriman Savi pada Nila pagi ini, liriknya terurai kalimat “aku tak pernah pergi, selalu ada di hatimu, kau tak pernah jauh, selalu ada di dalam hatiku”

            Savannah mencintai Bennadi, selamanya.   

 

 

 

 

Petir part two (trilogi)

Tags

, ,

Selasa, 01.30
[Tar, gue mau curhat, gue kangeeeeeeeeen banget sama Yhoga! Yhoga yang dulu, Tar, yang sayaaaang banget sama gue. Sepertinya dia mulai berubah, sejak Andre lahir dan dinyatakan punya kelainan jantung. Dia sempet bilang, mungkin Tuhan beri dia cobaan anak keduanya sakit, karena dia mulai mendua hati sama gue. Setiap gue Tanya kenapa dia berubah, dia bilang semua baik-baik saja, gak ada yang berubah sedikitpun. Dia tetep sayang gue. Tapi kan gue yang ngerasain, Tar, bedaaaaaaaaaa!]
Beberapa bulan terakhir ini, sebagian besar isi bbm dari Ella selalu tentang kekecewaannya Yhoga telah banyak berubah. Tari tahu hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Setahun yang penuh senyum dan cerita bahagia Ella sahabatnya, kini perlahan mulai berubah.
[Aaaah…jadi berkaca-kaca mata gue, Tar, inget banget perhatiannya yang luar biasa sama gue sebelumnya]
[Ella sayangku, mungkin Yhoga lagi butuh waktu untuk mengurusi Andre, saat ini Andre lebih butuh perhatiannya, mungkin Yhoga gak bermaksud melupakan lo sama sekali]
[Tariiiiiii….gue ga sejahat itu kali, berebut perhatian Yhoga sama seorang bayi dengan kelainan jantung! Yhoga ngerasa, penyakit Andre adalah hukuman atas hubungan dia sama gue, maka dia plih menjauh pelan-pelan. Kalau dia mau putus sama gue, atau apapun lah namanya itu, gue sendiri gak jelas kami ini pacaran atau bersahabat saja, kenapa dia gak bilang aja sama gue, biar jelas dan gak nggantung gini?]
[Entahlah, El, lo sendiri gak yakin hubungan macam apa yang lo punya sama dia]
[Kalau Yhoga mau semua ini berakhir, gue siap Tar, demi Tuhan gue siap, cuma butuh dia terus terang]
[Ella, bukan gue mau sok benar dan bilang “I’ve told you so”, tapi lo kan dari dulu tau mau kemana hubungan lo sama dia]
[Iya sih, Tar, lo bener, buat apa gue ngejar-ngejar penjelasan sama dia, hubungan ini kan gak jelas juga definisinya, gue gak ada hak menuntut penjelasan]
[Thanks ya, Tari ku sayang, mau nerima sampah curhatan tengah malam begini. Semoga aja Yhoga tau betapa gue sayaaaaaaang dan kangeeeeen banget sama dia, dia yang dulu, yang juga sayaaaaaaang banget sama gue]

Di tengah-tengah kusutnya rapat siang ini, blackberry Tari bergetar, terlihat bbm dari Yhoga.
[Tari, ada waktu kah?]
[Silahkan, ga, aku juga lagi bosan dengan isi rapat kusut ini, ada apa]
[Aku selalu sayang sama Ella, gak pernah berubah]
[Ada apa, ga?]
[Ella pasti pernah bercerita tentang aku sama kamu, Tar? Hubungan kami sedang sedikit renggang saat ini]
[Aku gak bermaksud menjauh dari, Ella, Tar….sumpah! aku tetap dan akan selalu menyayanginya, aku hanya lagi kuatir tentang Andre anakku, aku dan Shindy sedang berikhtiar mengobati Andre, aku mau Tuhan mendengarkan permohonanku untuk kesembuhan Andre]
[Gini ya, ga, kita kesampingkan dulu benar salahnya hubunganmu dengan Ella. Tapi tersirat dalam ucapanmu adalah Tuhan tak mau dengarkan doamu kalau kamu masih mendua dengan Ella]
[Demi Tuhan, Tar, bukan itu maksudku! Bukan]
[Apapun alasanmu, hal ini juga tersirat pada ucapanmu kepada Ella, saat Andre lahir dan didiagnosis memiliki kelainan jantung bawaan. Ella merasa kamu menuduhnya sebagai sumber bencana hidupmu. Mungkin kamu gak bermaksud berucap seperti itu, tapi itu semua yang tersirat dari ucapanmu, ga! Itu bener-bener nyakitin, ga! Even aku bisa ngerasain sakitnya perasaan Ella]
[Tari, dengar dulu, please, aku mencintai Ella sangat! Gak terpikirkan olehku menyakitinya, gak pernah, Tar, Ella seperti matahari buatku, hangat dan terang. Aku gak bisa hidup tanpa mentari, Tar, gak bisa]
[Terserahlah, ga, Ella sahabat baikku, dia sudah seperti saudara kandungku sendiri, maaf kalau aku memihak Ella, aku gak mau dia terluka, cukuplah dua tahun dia berduka atas perceraiannya dengan Kresna, dan aku gak mau Ella berduka atas berantakannya hubungan kalian yang gak jelas ini]
[Sudah ya, ga, aku harus presentasi di rapat ini]

[Tar, kenapa sih lo sayang sama gue, bahkan untuk selama duapuluh lima tahun ini? Gak bosankah denger curhatan gue? Curhatan tentang Glenn, Reza, Kresna, bahkan Yhoga? Semalaman gue mikir]
[Tumben lo mikir]
[Sialan lo, Tar! Gue mikir, gue sibuk di dunia gue sendiri, sibuk perkara bintang jatuh lah, pelangi lah, petir lah. Lo sendiri kapan mau berkeluarga, Tar? Lo berhak bahagia]
[Idiiih kenapa lo jadi pindah topik begini? Gue kan gak selaku elo Tar, banyak fans, wkwkwkwkwkwkwk]
[Tariiiiiiiiiiiiii gue serius tauuuuuk!]
[Iya, tau kok El, gue bukan trauma gegara Haikal membatalkan pertunangan kami dulu, dan memilih menikahi orang lain. Gue belum nemu aja orang yang tepat. Satu saat akan ada masanya giliran gue cerita sama lo soal bintang jatuh, pelangi, petir versi gue, tapi….]
[Tapi apa, Tar?]
[Tapi kalo gue gak akan menamakan mereka seperti itu]
[Kenapa?]
[Bintang jatuh, bagus sih diliat, tapi kalo dah jatuh entah di belahan bumi mana, udah deh ilang, kayak Glenn yang sekarang entah di benua mana. Pelangi, bagus siiiiih….warna warni, tapi cuma sebentar keberadaannya, kayak Reza, hehehehe. Kalau petir, sinarnya bikin malam yang gelap karena hujan jadi terang, tapi kalo kesamber, sakit!]
[Halagh bisa aja lo, Tar…..trus mau lo namain apa?]
[Hmmmmm apa ya? Yang kalo satu saat gue kesal sama mereka gue bisa dengan senang hati mengumpat mereka, bukan nangisin mereka kayak lo]
[Idiiiiiihhhhhh….]
[Kayaknya gue punya ide bagus niii….instead of bintang jatuh, pelangi, dan petir, gue mau namain mereka, wajan-panci-teko, haks haks haks]
[wkwkwkwkwkwkwkwkwkwk]
[Tar….]
[Paan?]
[Makasih ya, bikin gue yang tadinya mau nangis, jadi ketawa ngakak]

Duapuluhlima tahun persahabatan Tari dan Ella, banyak yang telah mereka lalui bersama. Banyak peristiwa dan rasa. Ella tak hanya mentari bagi Yhoga, tapi juga mentari untuk sahabatnya, Tari.

Petir part one (trilogi)

Tags

, ,

[PING]
[Tariiiiiiiiiii……lucu deh, barusan Arif kirim video dia nyanyi-nyanyi lagu india ngawur gitu sambil gaya, sumpah lucu banget n eror!]
Tari melirik bb nya….dan menghela nafas panjang. Satu sisi dia bahagia sahabat terbaiknya sudah bisa tertawa gembira setelah dua tahun berpisah dengan suaminya, Kresna.
[Yaelaaaaa El…..anak kecil gitu lo ladenin, auk ah…..aneh lo]
[Tariiiiii anak kecil ini yang ternyata bisa bikin gue ngakak setiap hari…]
[Yaudah kalo gitu suruh si Arif itu casting buat bintang tamu OVJ, biar adu lucu sama si Sule]
[Hah?? OVJ apaan tuuuuuh? Sule? Lo ngomongin siapa sih Tar? Wong lagi ngebahas si Arif]
[idih katroooo…punya TV Cuma buat pajangan doang! Tanya deh sama si berondong jagung itu pasti tau apa itu OVJ n Sule]

Tak terasa, persahabatan Tari dan Ella sudah berlangsung selama duapuluh lima tahun lamanya. Selama duapuluh lima tahun itu pula mereka melewati berbagai fase kehidupan masing-masing. Tari ingat betul saat Ella mengiriminya puluhan email bercerita tentang kesedihannya putus dengan Glenn saat mereka masing-masing studi ke luar negri. Lalu tak lama Ella berkabar telah menemukan pujaan hati yang akhirnya dinikahinya, Kresna. Ups…ralat, bahkan sudah diceraikannya sekarang. Tari hafal betul siapa itu bintang jatuh dan siapa itu pelangi, laki-laki yang pernah menghiasi hidup sahabat tersayangnya ini. Saat ini Tari bingung entah harus bahagia atau sebal dengan kedekatan Ella dan Arif. Dua tahun ini Ella berjuang melepaskan dirinya dari kesedihan berpisah dengan Kresna. Beberapa bulan terakhir, Tari merasakan sahabatnya ini mulai kembali ceria, dan alasan di balik semua ini adalah staff baru Ella, seorang sarjana lulusan Universitas terbaik di negri ini, Arif. Usia Arif lebih muda sepuluh tahun, tapi sepertinya mampu menjadi lawan bicara yang baik untuk Ella, sampai akhirnya mereka dekat.

[Tari cantiiiiiiiik…..aneh deh!]
[Paan?]
[Ingat sama Yhoga? Ketua OSIS kita duluuuuuu]
[Hmmmm lupa lupa inget alias banyak lupanya, kenapa?]
[Eeeehhh ntar dulu….inget aku! Ini Yhoga yang pernah nembak lo dulu padalan lo udah pacaran sama Glenn, bukan? Yang bikin akhirnya Glenn babak belur karena nantang berantem karateka ban item! Wkwkwkwkwkwkwk…inget gue!]
[Yaelaaaaa giliran babak belurnya Glenn inget lo! Tau ga, dia tiba-tiba bbm gue (dia dpt PIN BB gue kayaknya dari grup bb SMA kita), ngajak ketemuan…..duuuuhhh gue deg deg an niiii]
[Aih buset….ngapain juga deg degan Ellaaaaaaaa…..emang mau ngapain sama laki orang?]
[Barangkali dia masih naksir gue? Haks haks haks…lo pasti benci banget sama kenarsisan gue ini]
[Hufthhh…auk ah….]

Kesibukan yang tiada tara di kantor membuat Tari tak sempat berkabar dengan Ella beberapa minggu ini. Heran juga Tari kenapa sahabatnya ini gak lagi bawel di bbm, bolak balik ping seperti biasanya.
[El….kemana aja lo….sibuk gelendotan sama berondong jagung lo itu?]
Lama juga akhirnya Tari mendapat jawaban
[Ga usah sebut sebut lagi monyet gembel itu, Tar! Dan ga usah Tanya kenapa, tapi aku punya sesautu yang mau aku omongin sama lo, ntar sore yuk, di coffe bean PIM 2 ya]
[Ok]
Segera setelah parkir, sore itu di PIM 2, Tari segera menuju Coffee Bean, dilihatnya Ella sudah duduk di sofa dan melambaikan tangannya. “Sorry ya, telat, taukan bos gue, kalo dah curhat bikin pegel kuping gue, lo sehat kan, El?”. Ella tersenyum tipis “Alhamdulillah sehat Tar, gue mau cerita sesautu, rasanya gue jatuh cinta”. “Oyaaaaaa…..seneng dengernya! Mmmm pastinya bukan sama monyet gembel itu kan? Ups sori…kesebut”. “Yaelaaa Tar…gak lah…monyet gembel itu dah habis jam tayangnya”, serentak Tari dan Ella tertawa keras. “Lalu jatuh cinta sama siapa?”tanya Tari. “Hmmm mau tau aja, apa mau tau banget?” sesaat kemudian Ella menjerit karena Tari mencubit lengannya. Ella membisikkan sebuah nama pada Tari yang mbuatnya teriak “What!!!!! Lo gila El! Lo gilaaaaak! Lebih baik lo jatuh cinta sama monyet gembel itu daripada sama dia”. Mendadak raut wajah Ella berubah, hilang senyum dan tawanya seketika. Tari menyadari perubahan ini, “Maaf ya El, aku gak bermaksud menyakiti perasaan lo, tapi coba kita pikir baik-baik, akan kemana semua ini bermuara? Yhoga sudah menikah, happily married, El!”. Ya…Ella jatuh cinta atau apapun itu istilahnya pada Yhoga, teman SMA nya dulu.

[El, ayolah, lo ga marah sama gue kan?]
[Gak lah, Tar, lo bener, gue gila…]
[Maksud gue, seandainya pun Yhoga juga cinta sama lo, mau apa kalian nantinya? Apa dia bakalan nikahin lo? Apa lo mau jadi istri ke dua? For God sake, El, Shindy lagi hamil anak kedua mereka]
[Iya Tar, gue gila, terlena dengan semua perhatiannya, sayangnya, dan mungkin cintanya. Even Kresna ga pernah seperti ini, gak juga Glenn dan Reza]
[El, apapun yang membuat lo bahagia, gue akan selalu mendukung dan ikut bahagia, bahkan ini, gue cuma gak mau tiba saatnya nanti lo terluka, lo tau kenapa gue kuatir?]
[El, seumur-umur kenal sama lo, binar mata bahagia lo bilang lo lagi jatuh cinta kemaren itu, ga pernah gue liat….gue bisa ngerasain lo bahagia luar biasa]
[Iya Tar, gue tau ini gak ada masa depannya, tapi saat ini gue mau bahagia itu aja, gimana nanti, gue ga mau pikirin sekarang. So, please, be happy for me]

[PING]
[Tar, aku bisa ganggu sebentar?]
[Yhoga, tumben bbm aku, ada apa?]
[Sepertinya Ella sudah cerita tentang kami?]
[“kami”?….ga, aku menutup mataku saat ini karena aku hanya mau Ella bahagia sesuai keinginannya. Walau aku tau akan ada masanya kamu akan mencampakkan Ella demi Shindy istrimu]
[Dengarkan aku dulu, Tari, demi Tuhan aku mencintai Ella, akupun belum tau kemana arahnya kelak. Tapi aku MENCINTAInya]
[Terserah, ga]

Tari dengan setia membalas semua bbm Ella yang selalu berbagia cerita bahagianya dicintai oleh Yhoga. Betapa Yhoga memanjakannya dengan perhatian, berupa limpahan komunikasi baik lewat telepon dan bbm, hadiah barang-barang mahal yang membanjir. Ella bahagia, itu yang penting, Tari bolak balik menghipnotis dirinya dengan kalimat ini agar tak harus cemas apa yang akan terjadi di depan nanti. Petir, demikian Tari memberi julukan pada Yhoga.
[Kenapa petir, Tar?]
[Karena buat gue, Yhoga hadir di saat hidup lo penuh hujan badai tiada henti akibat perceraian lo, El, terlihat indah, mengejutkan, tapi akan ada saatnya lo, sadar, semuanyanya berbahaya, bahkan bisa menyakitimu dengan hebatnya, seperti tersambar petir]
[Tari sayang, yang penting saat ini gue bahagia, titik. Perkara bakal kesamber petir, nanti aja dipikirin, mungkin perlu antena penangkal petir ya? Haks haks haks]
[*sigh*] Tari menghela nafas, satu sisi ia bahagia hari hari Ella penuh kebahagiaan, tawa, semangat,  tapi di sisi lain ia tahu, sahabat terbaiknya ini akan hancur lebur. (bersambung)

Pelangi (trilogi)

Tags

Lamat – lamat terdengar suara adzan maghrib dari masjid di gedung ujung jalan ini, “Kita mampir di masjid dulu ya” ucap Reza pada Ella yang duduk membonceng di belakangnya. Ella tak segera menjawab, pikirannya melayang entah kemana, mungkin melayang ke 2 tahun yang lalu saat pertamakali bertemu Reza kembali di acara reuni SMP nya di sebuah kafe di Pacific Place. “El, kita mampir dulu ya?” Reza mengulangi ucapannya, menyadari perempuan yang duduk di belakangnya ini tak menjawab. “Iya, za, aku lagi ga sholat, aku tunggu di parkiran aja deh”

Dua tahun lalu melalui grup jejaring social terkenal, mantan murid-murid SMP swasta katholik tempatnya bersekolah dulu, bersepakat mengadakan reuni perak angkatan mereka. Sebenarnya Ella malas hadir, tp dipaksakan dirinya ikut, daripada harus mengikuti gala dinner kantor Kresna, lingkungan yang membuatnya selalu jengah dan tak nyaman. Mungkin bukan masalah lingkungan kerja Kresna yang membuatnya tak nyaman, tapi “being with” Kresna lah yang membuatnya tak nyaman. Setelah 13 tahun pernikahan tanpa dikarunia seorang anak, membuat pernikahannya dengan Kresna semakin merenggang. Sesampainya di kafe, dan senyum basa basi kepada beberapa orang yang dia tak yakin mengenal mereka saat sekolah dulu, Ella memutuskan duduk di satu kursi menghadap keluar, memandangi beberapa gedung di seberang gedung tempat kafe ini berada, pikirannya melayang pada kata-kata Kresna pagi ini. “Mau dibawa kemana pernikahan ini, El? Rasanya jarak di antara kita makin jauh, kamu gak pernah lagi mau ikut lagi pada acara-cara keluargaku”. “Aku mengerti, kamu malas bila ibu mulai mengungkit-ungkit soal anak, aku juga merasa ga nyaman, El. Tapi wajar kan, namanya juga orang tua”. Ella ingat jelas ia tak menjawab pernyataan dan pertanyaan Kresna, dalam hatinya ia menjerit “Nikahi saja gadis yang berkali-kali dipuji oleh ibumu itu! Tapi sebelum itu, ceraikan aku dulu!” tapi semua jeritan itu tersimpan rapat dalam mulutnya yang mengatup erat. Lamunannya terusik oleh seorang laki-laki yang menyodorkan tangan kanannya mengajak bersalaman “Hai, Ella, masih ingat aku? Reza”. Ella menyambut jabat tangan Reza sambil mengingat-ingat sosok laki-laki yang berdiri di depannya ini. “Bagaimana mungkin aku melupakan pemain basket terbaik di sekolah kita, yang notabene atlet dengan barisan cheer leader penggemar setia” , tawa Ella dan Reza menarik undangan lain untuk bergabung mengenang masa lalu.

Sejak pertemuan reuni tersebut, pertemuan-pertemuan berikutnya mulai rutin terjadi antara Ella dan Reza. Setiap sore Reza menyempatkan diri menjemput Ella dengan motornya, bahkan saat musim hujan tiba, tak menghalangi keduanya pulang bersama-sama, Ella rela meninggalkan mobilnya di tempat penitipan mobil dekat satu terminal di kawasan Jakarta Timur. Sore itu hujan turun dengan derasnya, Reza dan Ella terpaksa berteduh di teras mushola kecil di pinggir jalan, segera setelah reda mereka memutuskan melanjutkan perjalanan, saat melintasi sebuah jembatan layang Reza menepi, “El, liat deh ke atas, bagus banget ya…..keberadaannya cuma sebentar, tapi indah”. Pandangan Ella mengikuti arah telunjuk Reza menunjuk, sebuah busur raksasa kemilau di langit, berwarna-warni, tak pernah Ella menyadari indahnya pelangi seperti saat itu. Dulu Ella sempat memiliki bintang jatuh, Glenn, yang sekarang tinggal di belahan dunia tempat benua eropa berada. Saat ini Ella menikmati indahnya pelangi seperti ia menikmati kebersamaannya dengan Reza walau hanya beberapa saat setiap harinya. Sang busur telah mengisi sebagian hidupnya kini.

“El, ada kabar gembira!”, suara Reza terdengar begitu antusias di telinga Ella saat Reza menelponnya, “Aku ditugaskan di divisi baru yang pekerjaannya lebih dinamis, dan ini memang yang aku tunggu-tunggu sejak lama”. Sorenya mereka merayakan kegembiraan Reza di sebuah resto dalam perjalanan pulang. Sepanjang masa pertemuan itu Ella hanya diam memandangi Reza yang berbinar-binar menceritakan tugas-tugas barunya kelak, di mata Ella, saat ini ia sedang memandangi pelangi sedang memendarkan ketujuh warnanya, indah. Namun seiring dengan tugas barunya, Reza mulai sibuk dan tak punya lagi kesempatan menjemput Ella pulang, hari-harinya pun penuh dengan marathon meeting, belum lagi tugas-tugas ke luar kota dan negri. Ella kembali menikmati macetnya ibukota dalam perjalanan pulang dalam mobilnya sendiri. Teringat sebaris kata-kata Reza “…keberadaannya cuma sebentar, tapi indah”, ya betul, kehadiran Reza dalam hidupnya tak lama, tapi cukup indah dan membuatnya bertahan dalam kehidupannya dengan Kresna yang entah mengarah kemana.
alaska-rainbow-gehman_1313_600x450

Bintang Jatuh (trilogi)

Tags

,

Bintang jatuh, pelangi, petir, mentari, semua kata2 itu berkecamuk di kepala Ella. Bukan tanpa makna, karena setiap katanya mempresentasikan seorang individu yang begitu disayangi, yang tak kan pernah terlupakan bagaimanapun semuanya berakhir. Sayang, tepat sekali, sayang yang berarti telah melewati fase cinta yang menggebu dan berbinar terang. Kisah berawal di tengah heningnya acara pemakaman seorang ibu yang ia kenal baik seperti ibunya sendiri, ibu sang bintang jatuh.
Duapuluh tujuh tahun silam, saat Ella bermenung di dalam kelasnya di sebuah SMA negri terkemuka di Jakarta, tepat saat jam istirahat pertama, seseorang menjulurkan tangan di hadapannya mengajak berkenalan. Ella tak merespon segera, perlu beberapa detik untuknya tersadar dari lamunannya dan menyambut jabat tangan teman laki-laki yang kemudian ia tahu bernama Glenn. Pertamakali mendengar nama Glenn, spontan Ella tertawa dan berucap “nama bule tapi wajah eksotik” yang disambut senyum oleh sang pemilik nama. Ya, Glenn Pryo Leksono, remaja laki-laki berperawakan kurus, tinggi, kulit sawo matang, hidung mbangir, mata hitam lebar berkacamata. Sejak itu mereka menjadi teman baik, baik di sekolah, maupun di luar. Mereka memiliki terlalu banyak perbedaan, namun bagaikan kutub magnet yang berlawanan, justru saling tarik menarik.
14 Februari 1987, bagai hari raya untuk remaja di seluruh muka bumi ini. Sepulang dari nonton bioskop 21 di TIM, Glenn memberi kejutan untuk Ella, gadis yang beberapa bulan ini dekat dengannya, setangkai mawar putih dan sebuah cincin perak bermata batu zircon. Glenn mau malam ini tercatat dalam sejarah hidupnya sebagai malam ia meminang sahabatnya untuk menjadi kekasihnya. Binar mata Ella yang disertai teriakan kecil ketika melihat dua buah benda pemberian Glenn untuknya, membuat Glenn berlega hati, pinangannya diterima. Untuk Ella, malam ini malam terindahnya, seraya memandangi cincin di jari manisnya ia berucap “Terimakasih Glenn, terimakasih untuk memetikkan satu bintang di langit untung kau sematkan di jari manisku”. Sejak itu, Glenn adalah sang bintang jatuh untuk Ella.
Tahun berganti, usia remaja beranjak dewasa, saatnya menentukan masa depan. Glenn dan Ella memiliki cita-cita untuk dikejar dan diwujudkan, sekalipun artinya saat2 bersama akan berakhir. Mereka begitu saling mencintai sehingga membebaskan satu sama lain untuk mewujudkan impian masing-masing. Ternyata long distance relationship bukan hal simple untuk dijalani, kisah mereka kandas, dan masing-masing dari mereka menemukan pasangan sendiri. Sampai di satu saat Ella menerima telepon dari Glenn, sang bintang jatuhnya semasa SMA. “El, sorry mendadak telpon di tengah sibuknya dirimu yang pasti sedang dilewati beranjak dari satu meeting ke meeting lain. Aku mau kasih kabar, ibuku sakit berat, saat ini dirawat di ICU RS MMC, kuningan.” Ella tersentak mendengar kabar tersebut, berdiri dan segera melipir dari panasnya topik meeting pagi itu, seorang ibu yang ia kenal dengan baik, seseorang yang selalu menganggapnya putri sendiri dan selalu mengharap Ella menikah dengan Glenn. “Lalu ibu bagaimana sekarang? Kamu di RS? Aku kesana sekarang ya, Glenn”. “Aku sedang tidak di RS, El. Ada satu lagi berita sebenarnya yang perlu aku sampaikan. Ibu mau aku menikahi Raisa dihadapannya sebelum kondisinya makin memburuk. Sekarang aku sedang mempersiapkan segalanya. Mungkin akadnya besok pagi jam 9”. Seketika langkah kaki Ella seakan tak menapak lantai tempatnya berpijak, menikah? Akad? Besok? Ella kehilangan kata-kata, angannya melayang saat matanya tertuju pada sebuah cincin emas putih bertahtakan batu safir pink. Cincin tunangannya dengan Kresna teman kuliahnya di Melbourne. “El? Kamu masih dengar aku kan? Sudah dulu ya, El, aku harus nyetir”. Langkah Ella berbalik arah, bukan menuju ruang rapat melainkan basement tempat mobilnya diparkir. Ditembusnya macet jalanan ibu kota menuju RS MMC, setibanya di ICU, yang didapatkannya adalah isak tangis beberapa orang yang ia kenal sebagai kerabat Glenn, ibu sudah berpulang. Di sinilah sekarang Ella berdiri, di pemakaman ibu Glenn. Masih berkecamuk di hatinya, kenapa harus gundah saat mendapat berita bahwa Glenn akan menikah? Bukankah ia juga akan menikah dengan Kresna yang sangat dicintainya? Tiba-tiba serombongan kata2 berlomba keluar dari hatinya, kepalanya, mulutnya. “Glenn, boleh aku bertemu denganmu di kafe lantai 2 kantorku, minggu depan?”.
“El, ada apa? Sejak tadi kau diam saja”. Suasana sepi di pojokan kafe ini kembali membawa Ella ke angannya yang sedang mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikan pada Glenn. “Glenn, aku harus mengatakan sesuatu padamu. Aku telah menyimpannya lama dalam hatiku dan kupikir aku sudah melupakannya, ternyata tidak, tidak pernah sama sekali. Saat kita berpisah dulu, aku di Aussie dan kamu di Jerman, rasanya semua begitu simple….tapi demi mendengarmu akan segera menikah, kenapa rasanya semua jadi terasa ribet ya?” .”Maksudmu bagaimana, El? Mungkin maksudmu seperti ribetnya pikirku saat mendengar kamu bertunangan dengan Kresna?”, Seakan-akan segala jenis suara mendadak menghilang di kafe itu, mereka berdua tenggelam dalam kesunyian. “Jadi kita harus bagaimana, Glenn?”. “Aku mau kamu bahagia, itu saja, El”.
Setelah 4 jam duduk di pojokan kafe ini, dan menghabiskan sebagian besar waktu dalam keheningan, “Aku juga mau kamu bahagia, Glenn, aku selalu dan gak akan pernah berhenti menyayangimu, selamanya. Aku mau kamu menikahi Raisa, dan aku menikahi Kresna. Karena kebahagiaan kita adalah bersama mereka, betul kan, Glenn?” . Glenn memeluk erat, perempuan yang ia sayangi teramat sangat ini, “Aku akan selalu menjadi bintang jatuhmu, selamanya”. “Kamu adalah bintang jatuhku, selamanya, Glenn, semoga kebahagiaan akan menjadi milik kita masing-masing”. Pelukan erat dua sahabat, yang tak terpisahkan oleh waktu ataupun jodoh, selalu saling menyayangi, selamanya….
bintang2

Sehelai cinta (part three)

“…cause I miss you,body and soul so strong that it takes my breath away, and I breath you into my heart and pray for the strength to stand today, cause I love you whether it’s wrong or right, and though I can’t be with you tonight, you know my heart is by your side…” lamat-lamat terdengar suara merdu Daniel Beddingfield dari BB Izza saat ia bermenung duduk di bangku belakang taksi dari Hotel tempatnya bekerja menuju airport. Ya, dia akan menjemput Wildan, cinta lama nya yang tak pernah pudar. Malam ini pesawat Wildan sampai di Jakarta pukul 21.00 WIB dari tempat tinggalnya di Balikpapan. “…cause I love you whether it’s wrong or right…” syair itu terus terngiang di telinga Izza, ya, Wildan sudah menikah 2 tahun lalu, tentu saja cinta ini salah, tapi Izza terus meyakinkan dirinya tak ada yang salah dengan cinta mereka berdua. Dua tahun lalu ia kehilangan Wildan, kali ini ia bertekad tak kan pernah lagi kehilangan laki-laki ini, ia bahkan tak sanggup memikirkan apa jadinya tanpa cinta Wildan.

Dari jauh nampak wajah lelah Wildan, Izza melambaikan tangannya dengan senyum tak putus sejak turun taksi, hatinya berbuncah bahagia, menyambut laki-laki pujaan hatinya. Peluk hangat dan erat seakan takkan pernah rela ia lepaskan, masih ia ingat betapa bidangnya bahu Wildan…”Kamu sepertinya tambah kurus ya, wajahmu juga terlihat lelah” Izza membuka pembicaraan setelah akhirnya ia mampu membiarkan dirinya melepaskan pelukannya, sambil melihat lekat wajah Wildan yang tersenyum. Kedua tangan terus saling menggenggam sepanjang perjalanan dari bandara sampai Hotel tempat Wildan menginap selama di Jakarta, tak banyak kata terucap dari keduanya, genggaman erat, saling tatap rupanya menjadi media pelepas rindu mereka satu sama lain.

Izza menghempaskan tubuh lelahnya di tempat tidur, sementara Wildan menata barang-barangnya di lemari kamar hotelnya. “Aku bawakan kepiting kenari favoritmu nih, makan sepuasnya ya…hehehehe” Wildan menunjuk oleh-olehnya untuk gadis yang ia rindukan sepanjang waktunya. “Besok saja aku mampir lagi ambil oleh-oleh mu bersama Nana waktu berangkat ya, tak mungkin kubawa pulang, nanti ibu curiga, beliau tahu betul ini oleh-oleh khas dari Balikpapan tempat tinggalmu” Izza bangkit dari tempat tidur sambil memeluk Wildan dari belakang saat laki-laki itu menggantungkan jaketnya di lemari. “Kamu mau pulang? Kenapa tak menemani aku di sini saja? Aku masih sangat rindu!” Wildan membalikkan badannya dan memegang bahu Izza, memohonnya untuk tetap tinggal malam itu. “Maaf, gak bisa, ibu di rumah sendirian, pembantuku baru kembali dari kampung besok. Aku juga ingin tinggal di sini, aku juga rindu sangat!” Izza tersenyum. Dipandanginya terus wajah yang ia cintai sejak pertama kali bertemu. Setelah peluk erat entah berapa lama, dan cium mesra yang membuat keduanya dibuai hangatnya cinta, akhirnya Izza pulang.

“Na, kita mampir dulu ambil kepiting kenari oleh-oleh Wildan dulu ya” Izza meminta Nana untuk belok ke Hotel tempat Wildan menginap, hampir setiap pagi Nana menjemput Izza dalam perjalanan menuju tempat kerja mereka. “Oke, tapi aku tunggu di lobby saja ya, dan ingat, gak pake lama yaaaaa…..jangan sampai nanti kena damprat Chef Toni lagi!” Nana mengingatkan karena bos mereka yang satu itu luar biasa kaku dalam hal absensi. Tak lama mereka akhirnya kembali ke macetnya lalu lintas ibu kota. “Dapat salam dari Wildan” Izza menyampaikan pesan Wildan kepada Nana “Hhhhmm ya” jawab Nana tanpa berekspresi sambil tetap konsentrasi mengemudi. “Kok datar aja? Dapat oleh-oleh tuh dari dia” “Hhhhhmm ya” Nana tetap datar.”Kenapa sih? Kamu marah karena aku masih saja dekat dengan Wildan?” tanya Izza gusar melihat tanggapan dingin Nana sahabat baiknya. “Izza sayang, Wildan adalah masa lalu mu, yang namanya masa lalu itu sejarah, bukan untuk dijalani lagi. Dia sudah menikah! Apa sih yang kamu harapkan?? Dinikahinya? Jadi istri kedua?? Kamu mau mempercepat kematian ibumu??” Nana membuka kacamata hitamnya sambil menatap Izza, sahabat yang sudah bagaikan saudara untuknya. Izza tak sanggup berucap sepatah katapun, matanya nanar menatap jauh melampaui kendaraan yang berhenti karena macet di depan mobil Nana. Mulutnya bagai terkuci rapat, matanya tampak berkilat karena airmata, dadanya bergemuruh segenap emosi bercampur seakan meledakkan dadanya yang kian dirasa sesak. Tapi dalam kepalanya bersuara “Aku tidak bisa berhenti mencintainya dan aku tak kan pernah sanggup hidup tanpa Wildan mencintaiku”…buliran airmata Izza perlahan jatuh satu persatu….tangan kiri Nana menggenggam erat tangan sahabatnya yang duduk memunggunginya dengan bahu terguncang karena menahan isak.”…I don’t wanna run away but I can’t take it, I don’t understand, if i’m not made or you then why does my heart tell me that I am? Is there anyway that I can stay in your arms?…” syair lagu Daniel Beddingfiled kembali menggema dalam kepala Izza, gadis yang tengah bimbang, terhimpit rasa cintanya pada Wildan bekas kekasihnya yang telah menikah dan rasa sayangnya pada ibunya, orangtua satu-satunya yang ia miliki yang tengah mengidap kanker. Izza membalas genggaman Nana, sahabatnya yang senantiasa merelakan bahunya untuk bersandar saat dirinya rapuh. Izza punya sehelai cinta untuk Wildan dan ibunya, andai tak harus memilih.
(bersambung)

Sehelai cinta (part two)

Akhirnya mobil Cendana, sahabat baikku, sampai juga di depan gerbang rumahku tepat pukul 23.15. Seharian kami berkeliling Jakarta, mulai dari ke Grapari Telkomsel memperbaiki modem Cendana, membeli karangan bunga duka cita dan pergi ke rumah duka salah seorang bos kami baru saja kehilangan ibunya, sempat mampir makan siang di kaki lima di daerah Senen, lalu ke sebuah mal untuk ngopi sampai malam tiba. Pembicaraan kami sepanjang perjalanan pulang ke rumahku, membuatku berpikir, aku bukannya harus menangisi ibuku yang sedang sakit berat, namun justru harus menikmati waktu bersamanya dengan penuh kegembiraan dan cinta.
Perlahan kubuka pintu depan, namun tak urung bunyi pintu berderik akibat musim penghujan membuat kayu pintu ini sedikit memuai dan menimbulkan bunyi khas yang terbiasa kudengar tiap pintu ini dibuka. “Baru pulang, nak?” suara ibu membuatku kaget tak kukira beliau belum tidur selarut ini. Aku menghampiri dan mencium tangan serta keningnya yang hangat “Ibu kenapa belum tidur? Sesak lagi? Kenapa tidak segera menelfonku bu, kalau sesaknya datang lagi? Oksigennya habis? Coba aku lihat, seharusnya aku sudah mengisi tabung oksigen itu kemaren, maaf ya, bu” ucapku sambil memandangi wajahnya yang tampak bernafas tenang. Ibu tersenyum dan membelai pipiku “Ibu tidak sesak, ibu hanya rindu padamu, hari ini kau berangkat pagi-pagi benar, dan baru jam segini kembali, ibu hanya kangen sama bawelmu yang barusan itu”. Kuhempaskan badanku ke sofa ruang tengah sambil menghela nafas lega….
“Izza, semalam diantar Nana? Bagaimana kabarnya? Sampaikan terimakasih ibu untuk kiriman ayam gorengnya” suara ibu terdengar samar di ruang makan saat aku mengambil sepatuku di belakang. “Lalu mau sampai kapan kau jalan sama Nana, nak? Apa belum ada teman dekat laki-laki untuk saat ini?” ucap ibu sambil mengusap dan mencium kepalaku saat kududuk di ruang makan meneguk kopi pertamaku hari ini. “Ibu, kalau Izza punya pacar, ibu orang pertama yang akan tau!” ujarku sambil tersenyum. “Kau sudah tidak memikirkan Wildan bukan? Jangan marah ya, nak, ibu hanya lihat sejak kalian putus dan Wildan menikah, kau sepertinya sedikit berubah. Ibu ucapkan ini bukan karena ibu ingin kau cepat-cepat menikah, namun ibu hanya ingin kau kembali seperti Izza milik ibu yang dulu yang selalu riang gembira”. Kuberdiri dan memeluk erat tubuh renta ibuku, “Bu, aku ndak marah, aku ndak berubah, aku tetap Izza milik ibu yang selalu riang gembira” kupaksakan sebuah senyum agar ibu percaya.
Wildan, laki-laki yang pernah (dan masih) aku sayangi. Aku mengenalnya sejak SMA, teman berdebat yang baik saat belajar bersama. Kami terpisah saat kuliah, Wildan diterima di sebuah perguruan tinggi negri ternama, sedangkan aku terpental ke sebuah perguruan tinggi swasta di kota Bandung. Tapi kami dipertemukan kembali saat acara reuni SMA, sejak itu kami dekat dan memutuskan berpacaran, lima tahun, bukan waktu yang sebentar untuk membina hubungan. Sampai pada satu saat, ibuku jatuh sakit yang cukup berat, aku satu-satunya tempat bersandar ibuku, ayahku sudah 15 tahun berpulang. Penghasilanku yang bekerja sebagai asisten Cheff di Hotel Oranye sebagian besar mengalir untuk biaya berobat. Saat yang tak berselang jauh, Wildan meminangku, dan memintaku ikut dengannya ke Kalimantan karena dipindah tugaskan di sana. Bagaimana mungkin aku meninggalkan ibuku yang renta dan sakit sendiri di Jakarta? Membawanya serta ke sana pun bukan menyelesaikan masalah, fasilitas kesehatan yang diperlukan ibu untuk berobat ada di Jakarta. Akhirnya, kami memang tak berjodoh, perlu beberapa hari untuk membuatku berhenti meneteskan airmata dan bisa menegakkan wajahku kembali, aku begitu menyayanginya. Ah ternyata benar, aku masih sangat menyayanginya, walaupun tahu benar Wildan memutuskan menikah sebelum pindah tugas dua tahun lalu.
Sejenak setelah serving lunch, aku duduk di ruangan istirahat sambil meneguk kopi yang entah keberapa hari ini. Pikiranku pun kembali mengembara, aku tak ingin ibu tahu, kenyataannya Wildan dan aku mulai kembali menyambung komunikasi sejak setahun lalu berkat teknologi yang bernama Blackberry. Rasanya aku yakin, Wildan pun masih sangat menyayangiku. Uuughh apa jadinya kalau ibu tahu soal ini. Aku, Izza, rasanya tak sanggup hidup tanpa Wildan, aku memang gila! Wildan sudah beristri walau belum dikaruniai momongan. Ibu pasti akan murka bila mengetahui aku mulai dekat lagi dengan Wildan, aku merasa sedang mempercepat kematian ibuku yang sudah sedang menunggu waktunya akibat digerogoti kanker. Tak terasa airmataku menetes, aku menyayangi sangat ibuku….namun aku juga tak bisa hidup tanpa Wildan menyayangiku! Aarrgghhhh…ingin rasanya aku lempar tubuhku keluar melalui jendela lantai 8 ini…
(bersambung)

Sehelai cinta (part one)

Terdengar sayup-sayup di macet nya jalanan ibu kota adzan maghrib, “Mau mampir ke masjid untuk sholat?” tanya Nana sahabatku sambil melambatkan laju mobilnya. “Gak usah, Na, aku lagi gak sholat kok” jawabku sambil tersenyum, Cendana-atau Nana- selalu ingat akan kewajibanku menjalankan sholat 5 waktu walau dia seorang katolik. “Za, boleh aku tanya sesuatu? Kenapa sih akhir-akhir ini status FB mu terasa kelam? Ibu kan baik-baik saja katamu….aku tau penyakitnya belum ada obatnya, tapi sampai detik ini beliau baik-baik saja kan? Ayolah, semangat dan ceria sedikit, agar energi positifnya terasa oleh ibumu” Nana menatapku sambil memegang tanganku menunggu ratusan detik lampu merah berubah menjadi hijau. Mendadak mata ku menggenang, “Kau gak pernah tau Na, rasanya kehilangan orang yang sangat kau sayangi, saat ayah berpulang, aku bagai kaca yang hancur berpasir….rasanya ragaku tak bernyawa…aku gak akan sanggup bertahan kalau hal yang sama terjadi pada ibu, Na….” aku palingkan wajahku ke samping melihat seorang anak kecil pdagang asongan menawarkan koran sore, sambil menghapus buliran airmata yang terjatuh.
“Izza! Kematian bukanlah satu-satunya alasan kau kehilangan orang yang kau cintai! Lupakah kau, aku baru saja kehilangan hak asuh atas Emma, anakku yang masih kususui!” Tersentak hatiku mendengarnya, ya, aku lupa kalau Nana baru saja kehilangan hak asuh atas anak satu-satunya dalam sidang perceraiannya dengan Gema. Baby Emma, begitu panggilan sayangku untuk malaikat cantik milik Nana. Kenapa aku bisa lupa? Sambil memandanginya, aku menyadari, Cendana tak pernah terlihat sedih, senyum cantiknya selalu menghiasi paras jawa nya nan ayu. Bagaimana mungkin, ia bahkan tak tampak berkaca-kaca saat menyebut nama Emma. Cendana bahkan terus tersenyum melihat wajahku yang masih saja bermuram. Aku ingat betul tangisnya meledak saat Emma “diculik” Gema saat proses peceraian berlangsung, aku ingat tangisnya saat hakim memutuskan hak asuh atas Emma jatuh ke tangan Gema. Hakim tolol! Emma masih menyusu pada ibunya….apa sih yang ada dalam otak dan hati hakim itu?!
“Na, kapan terakhir merindukan sangat dan menangisi Emma?” tanyaku penasaran. “Setiap detik dalam hidupku aku merindukannya sangat, menangisinya? Untuk apa? Aku tau benar Emma dalam kondisi baik karena aku yakin Gema akan memberikan semua yang terbaik untuknya” senyum Cendana tak juga pudar. “Bagaimana mungkin kau tidak merasa kehilangan dan sedih? Kapan semua rasa itu hilang, Na?” tanyaku tak percaya tak melihat sedikitpun air mata menggenang di matanya. “Izza cantik, hakekatnya kita lahir ke dunia ini tak miliki apapun, semua milik Yang Maha Memiliki, kita hanya diberikan kesempatan untuk mencintai milikNya, jadi, cintailah setulus hatimu tanpa pernah berpikir untuk memilikinya” senyum Cendana tetap terlihat di pantulan kaca jendela mobilnya, “Aku mencintai seperti matahari yang tak pernah lelah bersinar, bahkan raga Gema tak dapat menghalangi cahayanya” lanjutnya “Aku tidak pernah kehilangan cintaku untuk Emma, dan aku tak pernah kehilangan Emma karena dia bukan milikku, kali ini Sang Pemilik menginginkan Emma bersama Gema, jadi aku akan selalu bersyukur sempat “memiliki” beberapa saat…dan syukurku kuwujudkan dalam cintaku untuk Emma yang tak kan pernah pudar, walau dalam hati saja”
“Jadi, Izza sayang, jangan tangisi ibumu yang masih bersamamu, syukuri waktumu yang diberikanNya untuk mencintainya, tunjukkan cintamu seakan-akan Sang Maha Pemilik akan meminta milikNya esok hari. Jangan buang waktumu untuk meneteskan airmatamu, ayooooo senyum bersamaku!” Cendana membelokkan arah mobilnya ke sebuah resto yang menjual ayam goreng terkenal sejak jaman aku masih kecil. “Ayo kita beli ayam goreng kesukaan ibumu, pasti dia bakal makan banyak malam ini” Aku tak bergeming di bangku ku, aku mau sepertimu Na, tak takut mencintai dan tak takut kehilangan….aku mau punya senyum yang tak pernah pudar seperti senyum Cendana sahabatku.
(bersambung)

Diam (part four, epilogue)

Enam bulan lalu, di taman kampus nya, Nadia duduk bermenung saat jari2nya mulai mengetik email nya ke John-laki-laki yang terpasung oleh bekunya diam selama hampir 2 tahun ini kepadanya-yang entah sudah keberapa ratus kalinya, sejenak ia berpikir, jangan-jangan John bahkan tak pernah membuka emailnya….ia curiga John bahkan ingat punya akun email ini….tapi keraguan itu tak menghentikannya mulai menekan jari-jarinya di keyboard laptopnya.
Setelah itu beberapa email tetap terkirim, di antaranya adalah :
“Dear mas, awalnya sempat terpikir olehku bahwa kau bukannya tak ingin membalas emailku, tapi kau lupa punya akun email ini (sayangnya hanya akun email ini yang aku punya), namun kemarin aku nekat mencoba menelfonmu di semua nomermu, tak satupun ada yang aktif (namun dalam hati aku bersyukur, entah apa harus kuucap bila kau menjawab salah satu panggilan telfon itu). Kucoba bertanya lewat mas Kevin, ternyata sudah lama kalian tak saling berkabar. Ini bukan artinya kau mau memutuskan tali silaturahmi kita, bukan? Walaupun demikian, aku memutuskan akan terus berkabar padamu melalui email di akun ini…namun maaf kalau tak bisa setiap hari seperti sebelumnya, kesibukanku dengan penelitianku sangat menyita waktuku, tapi penelitian ini sungguh membuatku semangat! Akhir-akhir ini kakiku terasa sedikit nyeri, tapi mungkin karena saat ini jelang musim dingin…hehehehehe seperti mama ya…rematik, atau jangan-jangan aku memang sudah menua :). Mas, semoga mas dan Tasya selalu dalam lindungan Alloh SWT, amin!”

“Dear mas, andai saja aku bisa curhat bercerita panjang lebar tentang problemku saat ini, dan mendengar respons mu, nasehatmu, saran-saranmu seperti dulu lagi….aku tak akan segundah ini. Aku butuh seseorang mendengarkkanku saat ini, bukan berita bagus sebenarnya (maaf, akhirnya kali ini aku sadar, ternyata selama kita masih bisa komunikasi, aku hampir selalu berbagi keluh kesah dan sedihku saja, jarang sekali berbagi bahagia, syukur alhamdulillah sejak mas berhenti berbicara denganku, aku mampu pendam dalam semua duka dan keluhku, dan selalu berbagi kebahagiaan dengan mas). Aku sakit, mas, sakit yang belum sanggup aku bagikan dengan suamiku sendiri, tidak juga dengan kakakku satu-satunya mas Kevin, dan orang tuaku. Mungkin juga seharusnya tidak kubagikan denganmu, namun kali ini aku butuh ventilasi agar aku bisa menghirup oksigen yang rasanya tak mampu lagi kurasakan sejak dokter memberi tahukan apa penyakitku. Tapi mungkin untuk saat ini aku hanya akan berkabar kalau aku sakit saja, selebihnya, aku tetap excited dan enjoy melakukan penelitianku…tak sabar menceritakan detilnya dengan mas! Peluk sayang untuk Yusuf pangeran tampanmu, semoga kalian bertiga selalu dalam lindungan Alloh SWT”

“Dear mas, doakan aku yaaaaa! Hari ini aku akhirnya memutuskan menerima tawaran dokter untuk menindaklanjuti penyakitku. Hari ini aku memutuskan, hidupku adalah hidup orang-orang yang menyayangiku, maka aku harus menjaganya sebaik akal pikirku mampu menjaga. Aku akan baik-baik saja, mas gak usah kuatir, besok aku kirim email untuk ceritakan apa yang aku lalui hari ini. Usapkan kepala Yusuf untukku, semoga kalian bertiga tetap dalam buaian cinta Alloh SWT”

“Dear mas, maaf tidak menepati janji untuk segera berkabar,ternyata apa yang aku lalui tak seringan yang aku bayangkan. Tapi, intinya aku baik-baik saja! Aku bahkan belum punya keberanian bercerita apa yang aku alami dengan seluruh keluargaku. Tapi aku janji, segera! :). Mas, pasti mas tahu apa yang harus aku lakukan saat ini….aku benar-benar butuh pendapat mas saat ini, aku gak tahu apa jadinya saat aku sampaikan tentang kondisiku saat ini. Uughh…andai mas bisa bantu aku saat ini, aku gak akan segelisah ini. Doakan aku mampu segera kumpulkan seluruh keberanianku untuk berterus terang dengan keluarga di Jakarta, ya! Anyway, apakabar Yusuf, tentu dia sudah pandai melukakn banyak hal ya? Walau tak pernah tahu benar wajahnya, aku selalu membayangkan Yusuf punya wajah seteduh wajahmu, senyuman sehangat senyuman Tasya, ah andai bisa memeluknya! ciumkan dahinya utnukku ya, mas! InsyaAlloh kalian bertiga selalu dalam dekapan kasih sayang Alloh SWT”

“Dear mas, akhirnya kemarin aku berterus terang pada seluruh keluargaku. Sebenarnya yang mendorongku adalah tim dokter yang sudah seperti keluargaku di sini. Merekalah yang mengajariku bagaimana berbagi kabar ini dan tidak menyebabkan keluarga di Jakarta panik. Orangtuaku, mas Kevin, abang, dan anak-anak akan menyusul menjenguk ku di sini, senangnya! Aku minta sekalian mereka berlibur di sini sampai aku selesaikan pendidikanku yang tinggal selangkah lagi. Berharap sangat mas ada di sini, banyak tempat yang pasti mas suka….tempat dimana kita bisa sekedar duduk diam, doing nothing but just enjoying time and place. Mungkin ini juga saatnya aku berterus terang sama mas apa yang aku alami di sini. Masih ingat nyeri kaki yang aku bilang rematik, dan aku menertawakannya karena mengingatkanku pada penyakit usia sepuh? Ternyata itu bukan sekedar rematik, tulang tungkai bawah kananku mengalami keganasan (entah apa istilahnya, sulit buatku mengetiknya dengan benar). Ingat saat aku minta didoakan? Aku menjalani amputasi kaki kananku, tanpa seorang pun tahu apa yang aku jalani hari itu!! Aku gila yaaaaaaaa……….. Tapi intinya, aku baik-baik saja! Aku ingat betul dulu mas pernah bilang, berpikir positif akan membuatku baik-baik saja…dan saat aku tak kuat, mas mau jadi tempatku bersandar, sampai saat ini melalui semua emailku, mas juga bilang cinta dan sayang mas akan selalu manjagaku 🙂 terimakasih mas! Tolong sapukan ciumanku ke pipi Yusuf, semoga kalian bertiga selalu saling memiliki dalam rengkuhan sejuk Alloh SWT”

Email Nadia terakhir selesai dibaca, pikir dan rasa John berselubung hangat dan indahnya cinta Nadia, gadis kecil yang ia sayangi sepenuh hati sejak dulu, bahkan ia bukan lagi sekedar gadis kecil saat inu. Nadia, mataharinya, tak pernah berhenti memancarkan terang dan berbagi hangat, walau segenap pintu hati telah ia tutup, ruang hatinya tetap terang dan hangat. Nadia, malaikatnya, tak pernah berhenti bersabar mengetuk segenap pintu hati yang terkunci, ruang hatinya tetap ceria dengan sapaan nya yang penuh bahagia. Nadia, belahan jiwanya, tak pernah berhenti mencintai dan menyayangi belahan lain jiwanya yang menjauh, belahan jiwa yang ia miliki tetap dalam pelukan Nadia. Airmata John bergulir, melewati tulang pipinya, namun bibirnya terkembang senyum, dengan yakin jari-jarinya meng klik icon reply…..ya! John memutuskan, tak akan lagi tinggal dalam bekunya diam, begitu banyak kebahagiaan yang telah di share Nadia untuknya, ia akan membayar setiap email Nadia dengan kebahagiaa yang Nadia pantas dapatkan. Sayup-sayup terdengar lagu Endless Love di layar kaca yang sedang menayangkan film seri Glee.

Bekunya diam telah mencair oleh hangatnya doa dan cinta, matahari.